A. Pengertian Babi

Babi adalah hewan yang sangat kotor karena ia merupakan jenis hewan pemakan segalanya, dari mulai bangkai, kotorannya sendiri, sampai kotoran manusia pun dimakan. Secara psikis babi memiliki tabi’at yang malas tidak menyukai matahari, sangat suka makan dan tidur, memiliki sifat tamak, dan tidak memiliki khendak dan daya juang, bahkan untuk memela diri sekalipun. Allah SWT menegaskan :

 

“Katakanlah: tiadalah aku peoleh wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah SWT. Barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Rabb-Mu maha pengampun lagi maha penyayang.”(Q.S.Al-An’am:145)

 

B. Ternak Babi

 

Sebenarnya tidak ada dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits yang melarang umat islam untuk memelihara babi. Oleh karena itu, pada dasarnya, babi boleh saja dipelihara atau diternak oleh umat islam. Pandangan ini didasarkan atas kaidah fiqih yang sudah dijelaskan dalam pembahasan tentang hukum muamalah, yaitu segala sesuatu pada dasarnya boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannypokok ma

 

 

 

Akan tetapi, kegiatan perternakan berhubungan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, ilmu ternak babi pada dasarnya diperuntukan bagi masyarakat untuk belajar mengembangbiakan dan mengurus babi agar bernilai ekonomi.

Pada dasarnya, setiap perternakan yang dilakukan bertujuan mendapatkan hasil dari ternak yang dilakukannya. Begitu juga ternak babi, ia diternak oleh masyarakat agar menghasilkan uang bagi para peternak.

Dalam Al-Qur’an secara eksplisit disebutkan daging babi adalaha haram. Allah berfirman:

 

 

 

 

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi…”(Q.S.Al-Maidah:3)

Terjemahan diatas menggunakan kata “makan” yang berada dalam tanda kurung karena kata “makan” merupakan salah satu penafsiran yang diperoleh secara tersirat dari susunan kalimatnya. Kalau yang dimaksud hanyalah haram memkan daging babi, berarti membudidayakan babi tidak dilarang oleh Al-Qur’an karena tidak ada cegahan secara eksplisit.

 

C. Hukum Penjualan Babi

Sebagaimana sudah dijelaskan diatas bahwa dalam al-Qur’an terdapat pernyataan eksplisit yang menyatakan bahwa babi itu adalah haram. Akan tetapi, karena dalam pernyataan keharaman babi terdapat dalalat al-iqtidho (penunjukan makna yang tersembunyi), kemudian muncul pertanyaan: haram diapakan? Jawaban yang disepakati oleh ulama, adalah haram dimakan. Bagaimana hokum menjualnya? Dalam menjawab pertanyaan ini diperlukan penelusuran terhadap sunnah karena salah satu fungsi sunah adalah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an.

Dalam kitab-kitab hadits terdapat informasi bahwa babi haram diperjual belikan. Diantara hadits tersebut adalah:

 

 

 

 

 

 

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan penjualan khamar, bangkai, babi, dan patung (berhala). Sahabat bertanya, “ya”, rasul Allah, bagaimana pandangan tuan tentang manfaat lemak (gemuk) bangkai yang berguna untuk cat perahu, minyak kulit, dan minyak lampu? Rasul Allah menjawab “Allah membunuh yahudi karena diharamkan atas mereka minyak (bangkai), tetapi mereka menjualnya kemudian mengkonsumsi hasil (harga) penjualannya”(HR. Bukhori Muslim)

Secara tekstual, dalam hadits siatas terdapat cegahan untuk memperdagangkan benda yang tergolong najis, yaitu khamar (minuman keras), bangkai, babi, dan patung berhala. Hadits tersebut didukung pula oleh hadits lain dengan matan dan sanad berbeda. Diantaranya adalah

 

 

 

 

“Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar dan harga penjualannya; mengharamkan bangkai dan harga penjualannya; dan mengharamkan babi serta harga penjualannya.”

Menurut jumhur ulama, illat keharaman benda-benda diatas adalah najasat (najis). Oleh karena itu, berdasarkan hadits diatas dapat ditarik natijat (kesimpulan) bahwa penjualan benda-benda najis seperti babi adalah haram dalam pandangan ulama.

Dengan demikian, keharaman babi yang terdapat dalam Al-Qur’an (Q.S Al-Baqarah :173 dan Al-Maidah:4) yang menyebutkan:

 

 

Ditafsirkan dengan hadits sehingga penafsiran ayat tersebut adalah :

 

“Diharamkan atas kamu penjualan bangkai, darah, dan babi…”

Secara eksplisit, keharaman penjualan babi dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadits. Pada dasarnya, tidak terdapat cegahan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah mengenai pengembangan ilmu ternak babi oleh umat islam, tetapi babi tidak boleh dijual oleh umat islam.

Rasulullah sendiri menyatakan bahwa Allah SWT mengharamjkan babi dan harta hasil penjualannya. Tent saja hal ini menunjukan pengharaman jual-beli babi dan dagingnya serta seluruh anggota tubuhnya walaupun sudah diusahakan untuk mengubahnya dalam bentuk-bentuk lain, misalnya seperti katalisator atau dicampur dengan daging lainnya.

A.Hassan (tokoh ulama persis) memiliki komentar yang menarik mengenai daging babi, menuutnya, babi diharamkan dalam Al-Qur’an adalah haram dimakan. Akan tetapi, jelasnya lebih lanjut, tidak da keterangan bahwa badan atau pakaian yang terkena daging babi wajib dicuci. Dalam penjelasannya, ia menggunakan qiyas atau analogi. Menurutnya, daging babi itu serupa dengan racun: racun haram dimakan. Akan tetapi, tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa pakaian, badan, dan tempat shalat yang terkena racun wajib dicuci. Sayangnya, ia tidak mengomentari hokum penjualan babi. Oleh karena itu, kelihatannya ia sependapat dengan hadits yang menyatakan bahwa babi haram dijual.

 

D. Kemungkinan Fatwa tentang Ilmu Ternak Babi

 

Ilmu ternak babi dikembangkan untuk membudidayakan babi dengan tujuan agar babi dapat dijadikan salah satu usaha yang bernilai bagi masyarakat. Apabila pendapat ini benar, tidak dapat disangkal bahwa ilmu ternak babi adalah media (al-wasilat) untuk menjualnya dan mengkonsumsi daging babi.

Posisi media telah mendapat perhatian dari ulama penyusun kaidah ushul fiqih. Perhatian tersebut ditandai dengan disusunnya kaidah berikut:

 

“Sesuatu yang wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, adalah wajib.”

Kaidah ushul tersebut sejalan dengan beberapa fiqih yang antara lain dikemukakan oleh Izz Al-Din Ibn Abd Al-Salam. Kaidah fiqih tersebut adalah:

 

“Bagi media berlaku hokum-hukum segala tujuan.”

 

“Media yang dapat mengantarkan pada tujuan lebih utama disbanding dengan seluruh media lainnya.”

 

“Media untuk berbuat haram (jelek) adalah lebih haram disbanding dengan seluruh media lainnya.”

Berdasarkan kaidah ushul dan fiqih tersebut, dapat diketahui kemungkinan-kemungkinan pendapat ulama. Paling tidak, kemungkinan itu ada dua. Pertama, ulama akan membolehkan adanya pengembangan ilmu ternak babi karena tidak ada dalil yang secara eksplisit mengharamkan pengembangan ilmu ternak babi. Pendpat ini didasarkan pada kaidah (                                                     ) ; dan kedua, ulama yang mengharamkan pengembangan ilmu ternak babi karena ilmu ternak babi adalah media untuk mengembangbiakan babi; pengembangbiakan babi adalah media untuk menjual babi; dan penjualan babi adalah media umtuk memakan daging babi; dan menjual serta memakan daging babi diharamkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Pendapat kedua (kemungkinan ulama yang mengharamkan) menggunakan argumentasi silgisme yang kira-kira susunan premis (muqoddimat) nya

Tidak ada dalil yang eksplisit mencegah pengembangan ilmu ternak babi dan ternak babi, tetapi ada dalil yang eksplisit tentang keharaman penjualan babi (dalam hadits) dan pengonsumsian daging babi (Q.S. Al-Maidah :3)

Kaidah tentang media diatas juga telah mendapat kritik dari sejumlah ulama. Diantara kritik tersebut dilontarkan oleh Abi’ Amr Al-husayni ibn ‘Umar Ib Abd Al-rahim Ibn Hasan dalam kitab Al-madkal Al-ushuliyyat li Al-Istinbath min Al- sunnat Al-Nabawiyyat. Dalam kitab tersebut Abi’ Amr Al-husayni ibn ‘Umar Ib Abd Al-rahim Ibn Hasan menyusun kaidah sebagai berikut:

 

 “Tidak semua media umtuk melakukan yang wajib adalah wajib.”

Berdasarkan pengalaman empirik, peternakan babi sudah berjalan dimasyarakat, baik didukung oleh ternak babi atau tidak. Oleh karena itu, ilmu ternak babi boleh saja dikembangkan dengan tujuan agar ilmu tersebut dapat dijadikan media kebaikan bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi umat islam pada khususnya.

 

E. Hikmah Pengharaman Daging babi

 

Hikmah diharamkan babi adalah babi ternasuk hewan yang sangat kotor karena kebiasaannya memakan segala Sesutu yang diberikan kepadanya dimulai dari bangkai, kotorannya sendiri sampai kotoran manusia. Secara psikis babi memiliki tabiat yang malas, tidak menyukai matahari, sangat suka makan dan tidur, memiliki sifat tamak, dan tidak memiliki khendak dan daya juang bahkan untuk membela diri sekalipun. Mayoritas para ulama bahwa sebab pengharaman babi adalah karena najisnya. Berdasarkan firmannya

 

 

 

 

 

“Katakanlah: tiadalah aku peoleh wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah SWT. Barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Rabb-Mu maha pengampun lagi maha penyayang.”(Q.S.Al-An’am:145)

Sedangkan hikmah pengharamannya dijelaskan Syeikh Sholih Al-Fauzan dalam pernyataan beliau:” ada yang diharamkan karena makanannya yang jelek seperti babi, karena ia mewarisi mayoritas akhlak yang rendah lagi buruk, sebab ia adalah hewan terbanyak makan barang-barang kotor dan kotoran tanpa kecuali.”(kitab Al-Ath’imah hal:40)

Penulis tafsir al-Manar menyatakan “allah mengharamkan daging babi karena najis, sebab makanan yang palng disukainya adalah kotoran dan ia adlah berbahaya pada semua daerah, sebagaimana telah dibukukan dengan pengalaman serta makan dagingnya termasuk sebab menularnya cacing yang mematikan. Ada juga yang menyatakan bahwa ia memilikipengaruhjelek terhadap sifat iffah (menjaga kehormatan) dan cemburu (ghiroh)”(Shahih fiqih sunnah, 2/ 339)

Dengan demikian dibalik pengharaman daging babi terdapat hikmah yang sangat besar. Hal ini enyangkut batas kemampuan tubuh manusia dalam mencerna makanan dan mempertahankan diri dari berbagai macam serangan parasit. Allah telah mengusahakan cara yang terbaik bagi manusia dalam melindungi dirinya. Jika ada seorang penantang bertanya untuk apa babi diciptakn jika tidak untuk dimakan? Maka kita bias menjawabnya dengan mengatakan bahwa didalam tubuh babi ada hal yang bias kita petik pelajarannya dan kemudian kita hindari sebagaimana nalurikita selalu berkata untk sedapat mungkin menghindarkan diri dari pengaruh virus flu atau bibit penyakit lainnya,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN

 

Setelah dilakukan penelitian, sejumlah produk peternakan dianggap mendapat hambatan dari para pemuka agama karena sejumlah produk tersebut dianggap haram berdasarkan ijtihad mereka. Ulama memandangnya sebagai produk yang haram karena sejumlah produk tersebut nyerempet-nyerempet haram. Oleh karena itu ilmu ternak babi cenderung diharamkan. Perbedaan pandangan para pemuka agama islam terhadap sejumlah produk peternakan merupakan keniscayaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENUTUP

 

Fatwa atau hokum ilmu ternak babi dapat dipastikan akan melahirkan silang pendapat dikalangan ulama. Oleh karena itu, kerapan intelektual, kehati-hatian (ikhtiyath), dan toleran (tasamuh) diperlukan bagi semua pihak. Kemungkinan fatwanya ada dua: ulama yang membolehkannya dan ulama yang mengharamkannya dengan argument dan jalan berpikir masing-masing. Akan tetapi, dari segi pelindungan Negara terhadap warga non muslim, ternak babi boleh dilakukan oleh warga non muslim karena Negara wajib melindungi kepentingan mereka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

Salah satu tujuan utama bidang peternakan adalah meningkatkan produktivitas ternak dengan didukung pakan yang mudah didapat, berkualitas serta biaya yang murah. Tetapi sering kali kita mengenal perdebatan tentang ternak babi. Ada yang mengatakan ahwa yang diharamkannya adalah semua yang berasal dari babi, adapula yang mengatakan bahwa yang diharamkan adalah daging babi.

Dengan sangat jelas sekali bahwa daging babi diharamkan oleh Allah untuk dijadikan sebagai makanan. Dijelaskan pula bahwa daging babi termasuk sesuatu yang kotor.

muncul pertanyaan apakah boleh dikembangkan atau tidak? Pertanyaan ini menarik karena babi termasuk salah satu hewan yang secara eksplisit diharamkan dalam Al-Qur’an.

Didalam makalah ini, penulis akan mencoba sedikit memaparkan lebih lanjut tentang apa itu ternak babi,.

 

 

 

 

 

 

 

 

TERNAK BABI

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih

Dosen : Latief Anwaluddin M.Ag

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh:

Yusrina Hidayati

Semester III

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS

CIGANITRI-BANDUNG

2009 M /1430 H

                                                                 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. D.R.Jaih Mubarok, Fiqih kontemporer dalam bidang peternakan, PUSTAKA SETIA BANDUNG: 2003
  2. Drs. H.Muslani, M.Ag, H. Hasbyallah M.Ag, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Sega Arsy Bandung:2009
  3. http://alislamu.com/index.php?option= com content&task=view&id=1863&ltemid=65
  4. http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/babi-haram.html
  5. A. Hasan, soal Tanya jawab tentang berbagai masalah agama, CV Dipenogoro Bandung:1998.

 


HIDUP TANPA KOREKSI ADALAH HIDUP YANG TAK LAYAK TUK DIJALANI
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free