Di indonesia terdapat tiga sistem hukum yang berlaku yaitu, hukum adat, hukum islam, dan hukum barat. Kedudukannya diselaraskan dalam peraturan perundang-undangan dan dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.

        Menurut Wildan Suyuti, terjaminnya kedudukan islam di negara republik indonesia sebagai negara hukum, tidak otomatis memberi bentuk pada hukum islam sebagai hukum tertulis. Adalah suatu kenyataan, bahwa pada masa yang lalu hukum islam yang berlaku itu tidak tertulis dan berserakan dengan segala akibatnya.

        Lahirnya UU no.1/1974 tentang perkawinan, UU no.7/1989 tentang peradilan agama dan inpres no.1/1991 tentang kompilasi hukum islam (KHI), yang antara lain berisi tentang perkawinan, adalah merupakan pergeseran begian-bagian dari hukum islam ke arah tertulis sebagai hukum positif.

        Pasal 1 UU no.1/1974 menyebutkan:

”Perkawnan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.”

         Untuk terlaksana dan sahnya perkawinan, maka pasal 2 ayat [1] UU no.1/1947 menyebutkan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan pasal 2 ayat [1] ini disebutkan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan UUD 1945.

        Perkawinan sebagai perbuatan hukum diperlukan adanya kepastian hukum, maka pasal 2 ayat [2] menyebutkan: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

           Dilihat dari UU no.1/1974, perkawinan adalah merupakan suatu peristiwa hukum yang penting, sebagaimana peristiwa kelahiran, kematian, dll. Untuk membuktikan adanya perkawinan tidak cukup hanya dibuktikan dengan adanya peristiwa itu sendiri tanpa adanya bukti tertulis berdasarkan pencatatan dilembaga yang berwenang sehingga dikeluarkan akta berupa surat nikah yang berfungsi sebagai akte authentik (alt bukti sempurna).

         Kompilasi hukum islam pasal 5, 6 dan 7 ayat [1] menyatakan bahwa unsur pencatatan nikah oleh ppn menjadi syarat sahnya suatu akad nikah.

       Dalam konteks ini maka nikah sirri dalam bentuk pertama dan kedua diatas dapat dikatakan keluar dari sistem perkawinan yang berlaku di indonesia dan perkawinan demikian secara hukum tidak mempunyai kekuatan pembuktian.

       Apabila memperhatikan dilakukannya nikah sirri, maka nampaknya ada dua hal yang menyebabkannya, yaitu:

   Pertama, adanya faktor-faktor di luar kemampuan si pelamar seperti:

a.                   Menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan agar terhindar dari hal-hal yang terlarang menurut agama karena masih sama-sama kuliah atau sambil menunggu selesai kuliah.

b.                  Tidak adanya izin wali nikah (orang tua).

c.                   Sulitnya memperoleh izin dari isteri dalam hal suami akan menikah lebih dari seorang. 

d.                  Adanya kekhawatiran kehilangan hak pensiun janda.

   Kedua, adanya pendapat bahwa pencatatan tidak merupakan perintah agama, karena tidak dilakukan di zaman nabi, sehingga pencatatan bukan merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya kewajiban administratif saja.

         Terhadap nikah sirri yang disebabkan oleh tidak adanya izin orang tua wali, tanpa wali nasab/wali hakim pada umumnya didasarkan pada pendapat bahwa wali nasab bahkan wali hakim itu tidak wajib hukumnya, mereka menganggap bahwa masalah hubungannya dengan orang tua/wali adalah soal sopan santun atau tatakrama saja.

          Sedangkan pasal 19 KHI menegaskan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yakni bertindak untuk menikahkannya. Wali nikah menurut pasal 20 KHI adalah terdiri atas wali nasab dan wali hakim.


HIDUP TANPA KOREKSI ADALAH HIDUP YANG TAK LAYAK TUK DIJALANI
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free